Senin, 22 Oktober 2007

Pandangan Masyarakat Tentang Sex Bebas




Beberapa saat yang lalu, salah satu media lokal menurunkan sebuah berita tentang hasil penelitian yang cukup mengagetkan, yaitu penelitian tentang perilaku seks bebas di antara generasi muda. Penelitian tersebut mengungkap perilaku seks bebas generasi yang menamakan dirinya anak baru gede alias ABG. Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa ternyata di kalangan remaja bangsa Indonesia, bangsa yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, 50 persen dari 474 remaja yang dijadikan sample penelitian, ternyata mengaku telah melakukan hubungan seks tanpa nikah.
Yang lebih mengagetkan lagi karena ternyata 40 persen di antara mereka melakukan hubungan seks tersebut pertama kali justru dilakukan di rumah sendiri. Banyak komentar dan pertanyaan muncul seiring dengan terungkapnya fenomena sosial yang telah menjadi realitas sangat memprihatinkan. Ya, itulah kenyataan hidup yang harus diterima.

Dari sekian banyak pertanyaan seputar masalah perilaku remaja yang dinilai menyimpang tersebut, ada dua pertanyaan mendasar yang perlu segera dijawab, yaitu apa penyebab perilaku seks bebas tersebut, dan bagaimana cara mengatasinya? Dua hal yang tidak bisa dibiarkan menggantung, melainkan harus didapatkan jawaban sekaligus solusi atas fenomena yang tidak sepantasnya dibiarkan.

* Penyebab Perilaku Seks Bebas

Menurut beberapa penelitian, cukup banyak faktor penyebab remaja melakukan perilaku seks bebas. Salah satu di antaranya adalah akibat atau pengaruh mengonsumsi berbagai tontonan. Apa yang ABG tonton, berkorelasi secara positif dan signifikan dalam membentuk perilaku mereka, terutama tayangan film dan sinetron, baik film yang ditonton di layar kaca maupun film yang ditonton di layar lebar.

Disyukuri memang karena ada kecenderungan dunia perfilman Indonesia mulai bangkit kembali, yang ditandai dengan munculnya beberapa film Indonesia yang laris di pasaran. Sebutlah misalnya, film Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel I’m in Love, 30 Hari Mencari Cinta, serta Virgin. Tetapi rasa syukur itu seketika sirna seiring dengan munculnya dampak yang ditimbulkan dari film tersebut. Terutama terhadap penonton usia remaja.

Menurut hemat saya, film-film yang disebutkan tadi laris di pasaran bukan karena mutu pembuatan filmnya akan tetapi lebih karena film tersebut menjual kehidupan remaja, bahkan sangat mengeksploitasi kehidupan remaja. Film tersebut diminati oleh banyak remaja ABG bukan karena mutu cinematografinya, melainkan karena alur cerita film tersebut mengangkat sisi kehidupan percintaan remaja masa kini. Film tersebut diminati remaja ABG, karena banyak mempertontonkan adegan-adegan syur dengan membawa pesan-pesan gaya pacaran yang sangat “berani”, dan secara terang-terangan melanggar norma sosial kemasyarakatan, apalagi norma agama.

Sebagai pendidik, saya sulit dan amat sulit memahami apa sesungguhnya misi yang ingin disampaikan oleh film tersebut terhadap penontonnya. Bukan saja karena tidak menggambarkan keadaan sebenarnya yang mayoritas remaja bangsa Indonesia, tetapi juga karena ia ditonton oleh anak-anak yang belum dapat memberi penilaian baik dan buruk. Mereka baru mampu mencontoh apa yang terhidang. Akibatnya, remaja mencontoh gaya pacaran yang mereka tonton di film. Akibatnya pacaran yang dibumbui dengan seks bebaspun akhirnya menjadi kebiasaan yang populer di kalangan remaja. Maka, muncullah patologi sosial seperti hasil penelitian di atas.

Hal kedua yang menjadi penyebab seks bebas di kalangan remaja adalah faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan. Lingkungan keluarga yang dimaksud adalah cukup tidaknya pendidikan agama yang diberikan orangtua terhadap anaknya. Cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh sang anak dari keluarganya. Cukup tidaknya keteladanan yang diterima sang anak dari orangtuanya, dan lain sebagainya yang menjadi hak anak dari orangtuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan serta di tempat-tempat yang tidak mendidik mereka. Anak akan dibesarkan di lingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwanya. Anak akan tumbuh di lingkungan pergaulan bebas.

Dalam lingkungan pergaulan remaja ABG, ada istilah yang kesannya lebih mengarah kepada hal negatif ketimbang hal yang positif, yaitu istilah “Anak Gaul”. Istilah ini menjadi sebuah ikon bagi dunia remaja masa kini yang ditandai dengan nongkrong di kafe, mondar-mandir di mal, memahami istilah bokul, gaya fun, berpakaian serba sempit dan ketat kemudian memamerkan lekuk tubuh, dan mempertontonkan bagian tubuhnya yang seksi.

Sebaliknya mereka yang tidak mengetahui dan tidak tertarik dengan hal yang disebutkan tadi, akan dinilai sebagai remaja yang tidak gaul dan kampungan. Akibatnya, remaja anak gaul inilah yang biasanya menjadi korban dari pergaulan bebas, di antaranya terjebak dalam perilaku seks bebas.

Melihat fenomena ini, apa yang harus kita lakukan dalam upaya menyelamatkan generasi muda? Ada beberapa solusi, di antaranya, pertama, membuat regulasi yang dapat melindungi anak-anak dari tontonan yang tidak mendidik. Perlu dibuat aturan perfilman yang memihak kepada pembinaan moral bangsa. Oleh karena itu Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) harus segera disahkan.

Kedua, orangtua sebagai penanggung jawab utama terhadap kemuliaan perilaku anak, harus menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis dalam keluarganya. Kondisi rumah tangga harus dibenahi sedemikian rupa supaya anak betah dan kerasan di rumah.

Berikut petunjuk-petunjuk praktis yang diberikan Stanley Coopersmith (peneliti pendidikan anak), kepada orangtua dalam mendidik dan membina anak. Pertama, kembangkan komunikasi dengan anak yang bersifat suportif. Komunikasi ini ditandai lima kualitas; openness, empathy, supportiveness, positivenes, dan equality. Kedua, tunjukkanlah penghargaan secara terbuka. Hindari kritik. Jika terpaksa, kritik itu harus disampaikan tanpa mempermalukan anak dan harus ditunjang dengan argumentasi yang masuk akal.

Ketiga, latihlah anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Orangtua harus membiasakan diri bernegosiasi dengan anak-anaknya tentang ekspektasi perilaku dari kedua belah pihak. Keempat, ketahuilah bahwa walaupun saran-saran di sini berkenaan dengan pengembangan harga diri, semuanya mempunyai kaitan erat dengan pengembangan intelektual. Proses belajar biasa efektif dalam lingkungan yang mengembangkan harga diri. Intinya, hanya apabila harga diri anak-anak dihargai, potensi intelektual dan kemandirian mereka dapat dikembangkan.

Selain petunjuk yang diberikan Stanley di atas, keteladanan orangtua juga merupakan faktor penting dalam menyelamatkan moral anak. Orangtua yang gagal memberikan teladan yang baik kepada anaknya, umumnya akan menjumpai anaknya dalam kemerosotan moral dalam berperilaku.
Melihat fenomena ini, sepertinya misi menyelamatkan moral serta memperbaiki perilaku generasi muda harus segera dilakukan dan misi ini menjadi tanggung jawab bersama, tanggung jawab dari seluruh elemen bangsa. Jika misi ini ditunda, maka semakin banyak generasi muda yang menjadi korban dan tidak menutup kemungkinan kita akan kehilangan generasi penerus bangsa.
**

" Posting ini di ambil dari gogle"

Senin, 08 Oktober 2007

Cara Mengatasi Sex Bebas



PENDIDIKAN SEKS
Banyak sekali perbedaan persepsi mengenai pendidikan seks. Perbedaan persepsi ini berimplikasi pada masalah perlu dan tidaknya pendidikan seks diberikan kepada remaja. Sementara dinamika persoalan seputar seksualitas disekeliling kita sudah sedemikian 'hebat', perlu dan tidaknya remaja mendapat pendidikan seks masih menjadi bahan perdebatan.
1. Apakah pendidikan seks itu ?Pendidikan seks merupakan sebuah diskusi yang realistis, jujur, dan terbuka; bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat, berhubungan dengan self-esteem (rasa penghargaan terhadap diri), penanaman rasa percaya diri dan difokuskan pada peningkatan kemampuan dalam mengambil keputusan.
Dalam pengambilan keputusan hal-hal yang perlu diperhatikan adalah mengetahui informasi, mempertimbangkannya, mengambil keputusan, dan ketrampilan mengkomunikasikan.
Ada 6 prinsip dasar yang harus termuat dalam pendidikan seks, antara lain;
Perkembangan manusia; anatomi, reproduksi dan fisiologi.
Hubungan antar manusia; keluarga, teman, pacaran, dan perkawinan.
Kemampuan personal; nilai, pengambilan keputusan, komunikasi, dan negosiasi.
Perilaku seksual; abstinence (puasa seks) dan perilaku seks lain.
Kesehatan seksual, meliputi: kontrasepsi, pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS), AIDS, aborsi, dan kekerasan seksual.
Budaya dan masyarakat; peran gender, seksualitas dan agama.
Dengan adanya pendidikan seks bagi remaja, diharapkan remaja dapat menempatkan seks papa perspektif yang tepat, dan mencoba mengubah anggapan negatif tentang seks.
2. Apakah arti seks, seksual, seksualitas dan hubungan seks itu?Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata seks mempunyai arti jenis kelamin, sesuatu yang dapat dilihat dan ditunjuk. Jenis kelamin ini memberi kita pengetahuan tentang suatu sifat atau ciri yang membedakan laki-laki dan perempuan.
Sedangkan seksual berarti yang ada hubungannya dengan seks atau yang muncul dari seks, misalnya pelecehan seksual yaitu menunjuk kepada jenis kelamin yang dilecehkan.
Istilah seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas. Diantaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial, perilaku, dan kultural. Dilihat dari dimensi biologis, seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin. Termasuk didalamnya adalah bagaimana menjaga kesehatan, memfungsikan dengan optimal secara biologis; sebagai alat reproduksi, alat rekreasi dan dorongan seksual.
Dari dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran jenis, dan perasaan terhadap seksualitas sendiri.
Dimensi sosial menyorot kepada bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan pada akhirnya perilaku seks kita.
Dimensi perilaku menunjukkan bagaimana seksualitas itu diterjemahkan menjadi perilaku seksual. Perilaku seksual merupakan segala bentuk perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan seksual.
Dimensi kultural menunjukkan bagaimana perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Dan istilah seks mempunyai arti hubungan kelamin sebagai salah satu bentuk kegiatan penyaluran dorongan seksualnya.
3. Bagaimana jika pendidikan seks diberikan kepada remaja ?Kebanyakan orang tua beranggapan bahwa pendidikan seks hanya berisi tentang pemberian informasi alat kelamin dan berbagai macam posisi dalam berhubungan seks. Hal ini tentunya membuat orang tua merasa khawatir, apabila dengan pemberian informasi tersebut justru remaja cenderung untuk mencobanya. Untuk itu perlu diluruskan kembali pengertian tentang pendidikan seks. Pendidikan seks berusaha untuk menempatkan seks pada perspektif yang tepat dan mengubah anggapan negatif tentang seks.
4. Apakah remaja perlu pendidikan seks ?Tentu saja, karena remaja yang sedang mengalami masa pubertas mempunyai dorongan atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mulai timbul rasa ketertarikan pada lawan jenisnya. Mereka berusaha mencari tahu tentang hal itu. Mereka bingung harus bertanya kepada siapa, apakah kepada teman atau bahkan kepada orang tuanya sendiri. Di pihak lain, arus informasi memberikan tawaran yang mengarah ke permasalahan seksual yang vulgar. Pada kenyataannya, banyak media massa justru cenderung menjerumuskan remaja. Maka dalam hal ini pendidikan seks diperlukan untuk menjembatani antara rasa keingintahuan remaja tentang hal itu dan berbagai tawaran informasi yang vulgar, dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, lengkap, dan disesuaikan dengan kematangan usianya.
5. Apakah pendidikan seks dapat mencegah remaja untuk tidak melakukan perilaku seks tertentu, misalnya hubungan seks ?Dengan adanya pengetahuan atau informasi aktual yang benar dan utuh serta perilaku yang bertanggung jawab, misalnya risiko hamil, maka remaja akan berpikir dua kali untuk melakukannya yang cenderung yang bersikap coba-coba itu. Remaja akan terbantu dalam mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
6. Mengapa pendidikan seks sering dipandang tidak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai ketimuran?Sebenarnya pendidikan seksual bermaksud memberikan pengetahuan dan pandangan yang seluas-luasnya dari berbagai sudut pandang serta memberikan informasi yang benar dan faktual kepada remaja mengenai seksualitas, sehingga remaja memiliki pengetahuan tentang seksualitas secara lengkap.
Remaja diajak berdiskusi mengenai pilihan-pilihan perilakunya berdasarkan pengetahuan yang didapat mengenai perilaku tersebut, risikonya, nilai agama yang dianut, nilai keluarga, dll. Sehingga keputusan yang diambil remaja lebih pada pemikiran yang mantap, matang dan bukan karena keharusan ataupun tekanan.
Perlu adanya pengakuan terhadap adanya norma pribadi yang berbeda-beda pada setiap orang terlepas dari nilai dan norma yang ada pada agama dan masyarakat. Kita juga memberikan pendampingan pada remaja untuk pengambilan keputusan dan tidak meninggalkan remaja begitu saja setelah mereka mendapat pendidikan seks. Jadi kalau ada pendapat bahwa pendidikan seks itu tidak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai ketimuran, itu lebih disebabkan karena perbedaan persepsi tentang pendidikan seks itu sendiri.
7. Mengapa masyarakat pada umumnya masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seksualitas ?Ada banyak faktor yang membuat masyarakat tabu membicarakan hal-hal yang menyangkut seksualitas, antara lain :
faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seksualitas di depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain.
pengertian seksualitas yang ada di masyarakat masih sangat sempit, pembicaraan tentang seksualitas seolah-olah hanya diartikan kepada hubungan seks. Padahal secara harafiah seks artinya jenis kelamin, sama sekali tidak porno karena setiap orang tentu memiliki alat kelamin. Seksualitas sendiri artinya segala hal yang berhubungan dengan jenis kelamin, termasuk bagaimana cara kerjanya dan cara merawat kesehatannya agar tetap dapat berfungsi dengan baik.
8. Apakah setiap orang butuh pendidikan seksualitas ?Setiap mahluk hidup memiliki naluri seksualitas sendiri-sendiri, begitu juga dengan manusia. Kita semua memiliki dimensi seksualitas, hanya saja kadang-kadang kita tidak menyadarinya. Pendidikan seksual akan memberikan bekal pengetahuan pada seseorang agar lebih memahami dirinya sendiri, sehingga mampu menjaga kesehatannya dengan lebih baik, dan mengambil keputusan yang terbaik untuk hal-hal yang berkaitan dengan seksualitasnya.
9. Perlukah dibuat kurikulum pendidikan seksualitas untuk orang tua dan remaja ?Akan lebih baik jika pendidikan seksualitas diintegerasikan dalam kurikulum. Sebab kenyataannya, tanpa disadari setiap orang perlu memahami segi seksualitasnya. Bagi orang tua, pendidikan seksualitas sangat perlu karena jika orang tua sendiri kurang memahami pengetahuan mengenai seksualitas maka ia tidak dapat menjelaskan atau tidak tahu bagaimana cara mengkomunikasikan kepada anak-anaknya. Sedangkan remaja memerlukan informasi yang tepat tentang seksualitas karena mereka memerlukan informasi yang tepat tentang seksualitas, agar remaja mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan seksualitas.
10. Kapan saat yang tepat untuk memberikan pendidikan seksualitas bagi anak dan remaja ?Bisa dimulai sejak dini dengan selalu menjaga kebersihan alat kelaminnya, menanamkan kesadaran jenis kelaminnya dan perbedaan dengan lawan jenisnya. Sejak usia dini diusahakan untuk memberikan informasi yang benar mengenai seksualitas.
Pada usia 6 sampai 12 tahun dapat diberikan penjelasan tentang terjadi- nya proses pembuahan ovum oleh sperma, membentuk pandangan anak tentang seksualitas, menjelaskan perbedaan seksual laki-laki dan perempuan dengan bahasa dan nama yang tepat dalam menunjuk anggota tubuhnya, mengenal dan menghargai seluruh anggota tubuh termasuk organ reproduksi, mengerti tentang keluarga, tujuan dan kewajibannya supaya menjadi anggota keluarga yang baik dengan mengikutsertakan rasa setia, kasih sayang, cinta, dan rasa saling menghormati. Pendidikan seksualitas sebaiknya disesuaikan dengan tahap perkembangan usia.
Saat remaja, pendidikan seksualitas lebih ditekankan pada perubahan yang terjadi selama masa remaja sebagai akibat telah aktifnya hormon seksual, perbedaan yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, perbedaan percepatan perkembangan dan pertumbuhan satu dengan lainnya, bagaimana mencapai kematangan seksual, dan pemilihan perilaku seksual (Laycock, S. R., 1979).
11. Bagaimana cara memberikan pendidikan seksualitas yang efektif, tepat sasaran, dan tidak terkesan porno ?Seringkali saat kita berbicara tentang seksualitas akan terkesan vulgar dan porno, hal itu dikarenakan kita tidak terbiasa membicarakannya. Sejak lama orang menganggap tabu membicarakan masalah seksual. Namun kita harus bisa menyadarkan bahwa pembicaraan tentang seksualitas yang dikatakan “vulgar” itu adalah sesuatu yang bersifat ilmiah dan perlu diketahui semua orang sebagai ilmu pengetahuan. Jika pengertian tersebut sudah bisa dipahami maka anggapan porno itu akan hilang dengan sendirinya. Kita sebaiknya tidak membicarakan masalah seksualitas di sembarang tempat, tetapi harus tahu waktu dan saat yang tepat, sehingga akan dihargai oleh orang yang mendengar.Pendidikan seksualitas yang efektif dan tepat sasaran dapat diberikan dengan cara sebagai berikut :
Bersikap jujur, realistis, terbuka terhadap masalah seksualitas.
Memberikan informasi yang factual dan dapat dipercaya.
Informasi yang diberikan harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak.
Mendukung penentuan nilai pribadi mereka tentang seks dengan mempertimbangkan nilai dan norma di sekitarnya serta berperilaku seks yang sehat termasuk untuk tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.
12. Hal-hal apa yang patut diberikan pada remaja dalam rangka pendidikan seksualitasnya ?Hal-hal yang dapat diberikan untuk pendidikan seksualitas bagi remaja dapat disesuaikan dengan kebutuhan subyektif dan kebutuhan obyektif.
Disesuaikan dengan kebutuhan subyektif, maksudnya tergantung kepada kebutuhan remaja itu sendiri, sejauh mana yang ingin diketahuinya tentang seksualitas. Kita hanya perlu menyesuaikan cara penyampaiannya kepada remaja yang bersangkutan.
Disesuaikan dengan kebutuhan obyektif, maksudnya remaja itu sendiri mungkin tidak membutuhkan, tetapi demi penguasaan pengetahuan si remaja terhadap perkembangan tubuhnya. Hal ini juga disesuaikan dengan tahap perkembangannya.
13. Bagaimana sebaiknya peran remaja dalam pendidikan seks ?Remaja dapat berperan aktif sebagai pendidik sebaya (peer educator) yang membantu menyebarkan informasi tentang pengetahuan seksualitas yang benar kepada teman-temannya atau berperan sebagai partisipan yang mendukung pendidikan seksualitas dengan cara menjadi sumber informasi tentang kebutuhan remaja, apa yang diinginkan, bagaimana pandangan mereka tentang pendidikan seksualitas, aktif dalam kegiatan dan lain-lain.
14. Apa yang diperjuangkan dalam memberikan pendidikan seksualitas ?Misinya adalah remaja yang bertanggung jawab terhadap kesehatan reproduksinya (baik sehat fisik, psikis dan sosial).
Sehat secara fisik maksudnya tidak menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan, tidak tertular penyakit menular seksual, tidak merusak kesehatan fisik diri sendiri maupun orang lain.
Sehat secara psikis misalnya tidak merasa tertekan atau terpaksa, tidak menghambat kepribadian.
Sehat secara sosial artinya mampu menyesuaikan dan mempertimbangkan nilai-nilai sosial di sekitar (agama, budaya, lingkungan) yang berkaitan dengan masalah reproduksi.
Pendidikan seksualitas mengarahkan bagi yang belum aktif secara seksual dengan maksud untuk menunda, memikirkan dan mempertimbangkan kembali sebelum memutuskan untuk berperilakku seksual aktif.Bagi yang sudah aktif secara seksual diarahkan agar melakukan aktivitas seksual yang aman, yaitu:
Setia dengan mitra tunggal.
Gunakan kondom setiap melakukan hubungan seksual. (Rahman, A., Hirmaningsih, 1997).
15. Apakah ceramah dapat membuat orang mengerti tentang pendidikan seksualitas dan apa letak tuntunan moralnya?Ceramah merupakan salah satu cara guna menyebarkan informasi tentang pendidikan seksual dan hanya memberikan aspek pengetahuan kepada masyarakat. Untuk menunjuk pada perubahan perilaku, kita harus melakukan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung seperti : konseling, siaran radio, rubrik di koran, forum diskusi, dan debat remaja dengan mengundang pakar dalam bidang tertentu yang berkaitan, kampanye melalui pengembangan media cetak, pelatihan seksualitas dan pendampingan untuk remaja.
Tuntunan moral yang diberikan bisa berupa pertimbangan dari berbagai sudut pandang, baik secara agama, nilai masyarakat, dan pilihan-pilihan yang lain. Kita tidak memusatkan perhatian pada penilaian benar dan salah, tetapi memberikan informasi yang dapat dijadikan pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan perilaku dan risikonya.
Remaja diajak untuk mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dalam menentukan segala tindakan yang akan dilakukannya, yaitu hal-hal yang bersifat:
fisik (misalnya tidak membahayakan kesehatan fisik, tidak menimbulkan penyakit),
psikis (misalnya tidak menimbulkan perasaan tertekan, tidak menghambat kepribadian)
sosial dan agama (misalnya tidak bertentangan dengan norma dan agama yang dianut)
Remaja diajak berpikir untuk menentukan pilihannya dan bukan berdasarkan atas dogma semata-mata, tetapi juga karena kesadaran dan mampu mempertanggungjawabkan keputusannya.
Pendidikan seksual yang diberikan berdasarkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia dan tidak bersifat diskriminatif (membeda-bedakan perlakuan).
16. Bagaimana cara mengatasi adanya dorongan-dorongan seks yang kadang muncul secara tiba-tiba, padahal remaja belum menikah ?Dorongan seksual seseorang dipengaruhi oleh hormon-hormon seksual yang telah berfungsi, yaitu hormon testosteron untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan adalah hormon progesteron dan estrogen.
Bentuk penyaluran dorongan seks dibedakan menjadi 2, yaitu :
tidak disalurkan sama sekali, dan
disalurkan
Dorongan seks yang tidak disalurkan maksudnya dengan cara mengalihkan pikiran, atau melakukan kegiatan-kegiatan lain di luar aktivitas seksual.
Sedangkan dorongan seks yang disalurkan maksudnya adalah, bentuk penyalurannya bias melalui masturbasi atau berhubungan seks dengan pasangannya.
17. Mengapa pada usia remaja dorongan seks meningkat, dan bagaimana cara mengurangi gairah seks yang meningkat ?Seorang remaja yang mengalami masa pubertas berarti sedang mengalami pertumbuhan fisik dan pematangan fungsi seksual. Pertumbuhan ini juga dipengaruhi oleh hormon-hormon seksual yang telah berfungsi yaitu testosteron pada laki-laki, dan progesteron serta estrogen pada perempuan. Hormon-hormon ini jugalah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual.
Saat masa pubertas ini, seseorang mulai merasakan peningkatan dorongan seksualnya. Ada beberapa alternattif untuk mengurangi gairah seks yang menggebu-gebu, yaitu menghindari bacaan atau gambar-gambar porno atau erotis, mencari kegiatan positif untuk mengisi waktu luang, mengembangkan diri serta menyalurkan energi psikis kepada hal-hal yang positif dan produktif seperti olahraga atau menyalurkan bakat seni.
18. Bagaimana jika ingin mendapatkan pengetahuan tentang seks itu ?Pertama-tama yang perlu kita pahami adalah, bahwa berbicara tentang masalah seks bukanlah sesuatu yang kotor atau tidak pantas dibicarakan. Hal ini disebabkan karena pengertian seks dikonotasikan dengan hubungan kelamin, sehingga masih dianggap tabu dan dianggap sebagai konsumsi orang dewasa saja, sedangkan remaja atau siapapun yang belum menikah tidak boleh membicarakannya.
Kita bisa mencari informasi dan pengetahuan mengenai seks melalui buku-buku; pengetahuan tentang seks yang lengkap dan benar; rubrik konsultasi yang diasuh oleh lembaga-lembaga atau orang-orang yang kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan; siaran-siaran radio; pusat-pusat konsultasi remaja; guru; kakak atau orangtua yang dianggap tahu.
19. Apakah yang dimaksud dengan free sex itu ?Istilah free sex sebenarnya tidak ada. Yang ada ialah pergaulan bebas.Banyak orang melakukan hubungan bebas karena dipengaruhi berbagai hal, misalnya faktor dari dalam keluarga sendiri (seperti cari sensasi, kecewa, atau frustrasi); juga karena pengaruh lingkungan, media massa atau kebudayaan; atau hanya sekadar mode atau trend yang ada di kalangan remaja itu sendiri.
20. Mengapa pada masa sekarang ini banyak remaja yang tidak dapat mengontrol diri dari pengaruh lingkungan yang negatif ?Pada masa remaja, seorang anak akan menjauh dari orangtuanya dan lebih dekat dengan teman sebayanya, sehingga pengaruh teman sebaya ini sangat kuat dalam menentukan perilaku yang dipilih oleh remaja.
Masa remaja juga merupakan masa pencarian identitas diri dan membina sosialisasi, sehingga jika teman-temannya “mejeng” di mal kemungkinan besar perilaku ini akan diikuti oleh remaja lainnya agar dianggap mengikuti mode yang berlaku, sebagai saran sosialisasi dengan teman-teman sebaya dan memperluas pergaulan.
Tetapi selain hal-hal yang positif, “ngeceng” di mal juga dapat menimbulkan hal yang negatif, seperti pola hidup konsumtif pada remaja. Jika waktu yang diluangkan untuk pergi ke mal terlalu banyak, tentu akan dapat mengganggu aktivitas lain mungkin lebih berguna.
Remaja cenderung lebih mengikuti kata-kata teman sebayanya daripada kata-kata orangtua dan norma agama, sehingga kontrol dirinya menjadi berkurang. Apa yang dikatakan oleh teman-temannya langsung diikuti walaupun belum tentu benar.
Penyebab kurangnya kontrol diri pada remaja antara lain: kurang percaya diri; kurangnya ketrampilan berkomunikasi (misalnya: kesulitan menolak ajakan teman); tidak bisa bersikap tegas; keagamaan yang kurang terinternalisasi; serta rendahnya kemampuan dalam mengambil keputusan.
Saat anak memasuki usia remaja, dukungan dan kedekatan dengan keluarga sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
21. Bagaimana cara mengefektifkan kontrol sosial dalam perilaku bebas seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini?Ada beberapa hal dalam diri remaja yang mempengaruhi kepribadiannya, yaitu kepercayaan diri, ketrampilan berkomunikasi, dan kemampuan mengambil keputusan.
Hal-hal dalam diri remaja juga dipengaruhi oleh lingkungan, seperti pola asuh dalam keluarga, norma yang ada di dalam masyarakat, dan pendidikan yang mengajak remaja untuk berpikir. Untuk mengaktifkan kontrol sosial tentu saja dibutuhkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, seperti orangtua, guru, masyarakat dan remaja itu sendiri. Semua pihak harus ikut berperan serta, karena antara satu pihak dan lainnya saling berkait dalam pembentukan perilaku remaja.
Sumber : Buku Tanya Jawab Seputar Seksualitas Remaja.Disusun oleh : Tim Sahabat Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia – Daerah Istimewa Yogyakarta

© Copyright Baby Jim Aditya & Partisan Organization 2001-2003.All rights reserved. Please do not use any content without the owner permited.
powered byWWW.FunkyHosting.Net

Akibat Pergaulan Bebas


Tingginya Penderita HIV/AIDS Akibat Pergaulan Bebas
Kapanlagi.com - Tingginya kasus penyakit Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur remaja, salah satu penyebabnya akibat pergaulan bebas.
Selain hilangnya kekebalan daya tubuh, pergaulan bebas juga dapat menyebabkan terjadinya kehamilan di luar nikah, kata Kepala BKKBN Propinsi Bali, I Gede Putu Abadi, MPA di Denpasar, Senin (24/10).
Dalam sambutan tertulis dibacakan Kepala Balai Latihan dan Pengembangan, Ida Bagus Wirama, SH ketika membuka pelatihan managemen pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja bagi relawan dan pengelola, ia menyatakan, kondisi tersebut cukup memprihatinkan.
Hasil penelitian di 12 kota di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah pernah melakukan hubungan seksual.
Di kota Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) yang baru duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai pengalaman hubungan seksual.
Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%. Data statistik nasional mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75% terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada usia remaja.
Demikian pula masalah remaja terhadap penyalahgunaan narkoba semakin memprihatinkan, ujar Putu Abadi.
Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Bali hingga Pebruari 2005 tercatat 623 orang, sebagian besar menyerang usia produktif. Penderita tersebut terdiri atas usia 5-14 tahun satu orang, usia 15-19 tahun 21 orang, usia 20-29 tahun 352 orang, usia 30-39 tahun 185 orang, usia 40-49 tahun 52 orang dan 50 tahun ke atas satu orang.
Putu Abadi menambahkan, semakin memprihatinkan penderita HIV/AIDS memberikan gambaran bahwa, cukup banyak permasalahan kesehatan reproduksi yang timbul diantara remaja. Oleh sebab itu mengembangan model pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja melalui pendidik (konselor) sebaya menjadi sangat penting.
"Pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja menjadi model pemberdayaan masyarakat yang bertujuan menumbuhkan kesadaran dan peranserta individu memberikan solusi kepada teman sebaya yang mengalami masalah kesehatan reproduksi," ujar Putu Abadi.
Pelatihan Managemen tersebut diikuti 24 peserta utusan dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali berlangsung selama empat hari

Contoh Nyata Penjualan Anak

Ketika di Dunia Free Sex menjadi dominan utama dalam pergaulan,..

Banyak yang di rugikan dalam hal ini,.. Contohnya seorang Baby yang tidak berdosa menjadi korbanya. dia tidak di kehendaki keberadanya,maka di manfaatkan lah dia menjadi barang komersil.... Tapi taukah anda atas perbuatan mereka,sebuah nyawa hilang,...?!!!!!!

Ini lah fenomena seorang ibu yang tidak siap dengan datangnya sang buah hati,..menjualnya,...?!!!! tapi taukah dia untuk apa anak tersebut di gunakan,..?!!! dan bagaimana nasibnya,..?!!!

Ya Tuhan Maafkan HambaMu yang telah membuat kesalahan terbesar ini,...

Minggu, 07 Oktober 2007

Sebab-Sebab TimbulNya Free Sex



DAMPAK GLOBALISASI MEDIA TERHADAP
MASYARAKAT DAN BUDAYA INDONESIA
Oleh : Drs. Hadiono Afdjani, MM
Abstact
Media globalization do not know state boundarys. Indonesia is one of induced
state emerged of American and Europe magazine Indonesian version and also
inudating program display and record product without can be barricaded. How
applying of press constitutions and broadcast constitutions referring to this
problem? How government attitude? How its impact to Indonesian culture and
society? Is there any solution can you offer?
PERAN MEDIA MASSA
Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat
modern tidak ada yang menyangkal, menurut McQuail dalam bukunya Mass
Communication Theories (2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran
media.
Pertama, melihat media massa seabagai window on event and experience.
Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang
sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui
berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and
the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di
masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola
media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik,
pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka faktanya
demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka.
2
Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin
realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan khalayak tidak
sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan.
Ketiga, memandang media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang
menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih
issue, informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di
sini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan
mendapat perhatian .
Keempat, media massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan
atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai
ketidakpastian, atau alternative yang beragam
Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai
informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan
umpan balik.
Keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat
berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan
terjadinya komunikasi interaktif.
Pendeknya, semua itu ingin menunjukkkan, peran media dalam kehidupan social
bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan
informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial. Isi
media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di
media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran
tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari
respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari
media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu.
Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan
3
berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian
media massa.
GLOBALISASI MEDIA
Bertolak dari besarnya peran media massa dalam mempengaruhi pemikiran
khalayaknya, tentulah perkembangan media massa di Indonesia pada massa akan
datang harus dipikirkan lagi. Apalagi menghadapi globalisasi media massa yang tak
terelakan lagi.
Globalisasi media massa merupakan proses yang secara nature terjadi,
sebagaimana jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor.
Pendekatan profesional menjadi kata kunci, masalah dasarnya mudah diterka. Pada
titik-titik tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar negeri yang tak dikenal oleh
bangsa Indonesia. Jadi kekhawatiran besar terasakan benar adanya ancaman,
serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai-nilai luhur dalam paham kebangsaan.
Imbasnya adalah munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi
Indonesia seperti : Bazaar, Cosmopolitan, Spice, FHM (For Him Magazine), Good
Housekeeping, Trax dan sebagainya. Begitu pula membajirnya program-program
tayangan dan produk rekaman tanpa dapat dibendung.
Lantas bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia menyikapi
fenomena transformasi media terhadap perilaku masyarakat dan budaya? Bukankah
globalisasi media dengan segala nilai yang dibawanya seperti lewat televisi, radio,
majalah, Koran, buku, film, vcd dan kini lewat internet sedikit banyak akan berdampak
pada kehidupan masyarakat?
Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalamai serbuan yang hebat dari
berbagai produk pornografi berupa tabloid, majalah, buku bacaan di media cetak,
4
televisi, radio dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik yang datang dari luar
negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pornografis bukan barang baru
bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa
orang asing menganggap Indonesia sebagai “surga pornografi” karena sangat
mudahnya mendapatkan produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Kebebasan pers yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh
sebagian masyarakat yang tidak bertanggungjawab, untuk menerbitkan produk-produk
pornografi. Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin sebagai
hak asasi warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran serta pembredelan. Padahal
dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 itu sendiri, mencantumkan bahwa
pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat (pasal 5 ayat 1).
Dalam media audio-visualpun, ada Undang-undang yang secara spesifik
mengatur pornografi, yaitu Undang-undang Perfilman dan Undang-undang
Penyiaran. Dalam UU Perfilman 1992 pasal 33 dinyatakan bahwa setiap film dan
reklame film yang akan diedarkan atau dipertunjukkkan di Indonesia, wajib sensor
terlebih dahulu. Pasal 19 dari UU ini menyebutkan bahwa LSF (Lembaga Sensor
Film) harus menolak sebuah film yang menonjolkan adegan seks lebih dari 50 % jam
tayang. Dalam UU Penyiaran pasal 36 dinyatakan bahwa isi siaran televisi dan radio
dilarang menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang merendahkan, melecehkan
dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia (ayat 6).
Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai
yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian
terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban
baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua
warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah,
5
misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang teramat asing
dari sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah pornografi, dimana
sekarang wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika
dan Eropa yang dalam berbusana cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan.
Sehingga kalau kita berjalan-jalan di mal atau tempat publik sangat mudah menemui
wanita Indonesia yang berpakaian serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu
sangat bertentangan dengan norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya
kehidupan free sex di kalangan remaja masa kini. Terbukti dengan adanya video porno
yang pemerannya adalah orang-orang Indonesia.
Di sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat
perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu
melarang berbagai sepak terjang masyarakt yang berperilaku tidak semestinya.
Misalnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menyarankan agar televisi tidak
menayangkan goyang erotis dengan puser atau perut kelihatan. Ternyata dampaknya
cukup terasa, banyak televisi yang akhirnya tidak menayangkan para artis yang
berpakaian minim.
SOLUSI
Sekarang di Indonesia bermunculan lembaga-lembaga media watch yang keras
terhadap pers sebagai jawaban terhadap kian maraknya penerbitan yang bisa disebut
“pers kuning”, “Massen Preese” dan “Geschaft Presse”.
Melalui media massa pun, kita dapat membangun opini publik, karena media
mempunyai kekuatan mengkonstruksi masyarakat. Misalnya melalui pemberitaan
tentang dampak negatif pornografi, komentar para ahli dan tokok-tokoh masyarakat
yang anti pornografi atau anti media pornografi serta tulisan-tulisan, gambar dan surat
pembaca yang berisikan realitas yang dihadapi masyarakat dengan maraknya
6
pornografi, maka media dapat dengan cepat mengkonstrusikan masyarakat secara luas
karena jangkauannya yang jauh.
Dalam masyarakat terutama di daerah pedesaan, dikenal adanya opinion
leader atau pemuka pendapat. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain untuk bertindak laku dalam cara-cara tertentu. Menurut Rogers (1983),
pemuka pendapat memainkan peranan penting dalam penyebaran informasi. Melalui
hubungan sosial yang intim, para pemuka pendapat berperan menyampaikan pesanpesan,
ide-ide dan informasi-informasi baru kepada masyarakat. Melalui pemuka
pendapat seperti tokoh agama, sesepuh desa, kepala desa, pesan-pesan tentang
bahaya media pornografi dapat disampaikan.
Tapi yang lebih penting lagi adalah ketegasan pemerintah dalam menerapkan
hukum baik Undang-Undang Pers, Undang-undang Perfilman dan Undang-Undang
Penyiaran secara tegas dan konsiten di samping tentu saja partisipasi dari masyarakat
untuk bersam-sama mencegah dampak buruk dari globalisasi media yang kalau
dibiarkan bisa menghancurkan negeri ini.

Fenomena Free Sex....!!!!


Free sexs atau seks bebas menjadi hal yang sangat biasa bagi kalangan remaja saat ini. Tanpa merasa malu mereka meminta pasangannya untuk melakukan hal itu, hal yang sebenarnya dianggap tabu oleh masyarakat sekitar. Bukan hanya wanita dewasa (> 20 tahun) saja yang melakukannya, namun sekarang kalangan remaja SMP-SMA sudah melakukannya walaupun hanya satu kali. Kita juga tidak tahu lagi berapa jumlah wanita dan pria yang masih perawan dan masih perjaka, karena tidak sedikit masyarakat di Indonesia telah melakukan seks bebas.Pergaulan adalah faktor yang paling banyak yang dialami oleh remaja pada umumnya. Pergaulan mereka yang luas, otomatis mereka juga memperoleh banyak masukan dari teman-temannya. Contohnya, pasangan yang tidak pernah melakukan seks akan dianggap tidak modern (norak/kuno) oleh teman-temanya (yang sudah pernah melakukan sesk bebas).Mereka yang terus didoktrin/dipengaruhi dan diperkenalkan bahwa seks itu mengasyikan, mengenakkan dan harus dicoba.Merekapun tak segan-segan memperkenalkan permainan seks yang aman, seperti memakai alat pengaman (kondom) dan sebagainya. Mereka terus mempengaruhi bahwa melakukan seks dengan aman akan terhindar dari penyakit kelamin dan kehamilan. Akhirnya membuat mereka hilang kepercayaan diri mereka sehingga perlahan-lahan mereka terjerumus kedalam seks bebas.Mereka melakukan seks bebas biasanya hanya didasari rasa ikut-ikutan saja, coba-coba, tidak enak dengan teman-temannya dan tidak ingin dibilang kuno. Padahal seks diluar nikah itu sangat merugikan, apalagi bagi pihak perempuan. Banyak wanita yang merasa dirinya sudah tidak berharga lagi jika sudah tidak perawan.Ada seseorang yang bilang : “Wanita itu ibarat Cermin. Jika cermin itu masih bagus, maka akan banyak dipandang. Namun jika cermin itu pecah, maka banyak yang tidak menginginkannya lagi.”Jadi siapa yang merasa dirugikan???Padahal pengaman seks (kondom) tidak 100% aman terhindar dari kehamilan, mungkin iya 100% aman terhindar dari penyakit. Bagaimana jika wanita itu hamil diluar nikah, mungkin akan selesai masalah jika si pria mau bertanggunjawab. Tapi bagaimana jika si pria lepas tanggungjawab? Bagaimana dengan nasib si calon bayi? Alhasil tidak sedikit wanita yang melakukan aborsi (menggugurkan kandungan), namun juga ada wanita yang tetap mempertahankan si calon bayi tapi dengan resiko menjadi terkucilkan.Tapi menikah muda juga bukan solusi yang tepat. Mereka yang masih duduk dibangku sekolah terpaksa tidak lagi meneruskan pendidikannya karena sibuk mengurusi keluarga baru mereka, dan juga harus mencari nafkah untuk calon bayinya. Mereka juga tidak mempunyai waktu lagi untuk hang out bersama teman-teman dan menikmati masa mudanya karena harus mengurusi bayi mereka yang sebenarnya belum waktunya mereka untuk berumah tangga.Begitu juga dengan remaja yang tidak memakai pengaman (banyak yang tidak suka memakai pengaman) dan sering berganti-ganti pasangan, penyakit pun mendera mereka. Dari mulai penyakit kelamin sampai HIV/AIDS yang gak ada obatnya.Jadi sekali lagi, Siapa yang rugi??? Kalian bukan!!!Padahal seharusnya remaja peka akan masalah ini, dan melihat untung ruginya. Jadi mereka tidak akan merasakan kenikmatan sesaat dengan penyesalan seumur hidup. Artikel yang aku tulis ini mudah-mudahan dapat memberi masukan pada kalian. Jika ada yang tidak berkenan dengan artikel ini, aku minta maaf. Kalo bisa beri komentar/masukan